Kamis, 25 Februari 2016

Kaidah Penting Memahami Al Qur’an & Hadits


Ada tulisan bagus, di muslim.or.id, ini tulisannya. 

Umat Islam memiliki modal yang sangat besar untuk bersatu, karena mereka beribadah kepada ilaah (Tuhan) yang satu, mengikuti nabi yang satu, berpedoman kepada kitab suci yang satu, berkiblat kepada kiblat yang satu. 

Selain itu, ada jaminan dari Allah & Rasul-Nya, bahwa mereka tidak akan sesat selama mengikuti petunjuk Allah Subhanahu wa Ta’ala, berpegang-teguh kepada Alquran dan al Hadits. 

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, 


Maka jika datang kepadamu petunjuk dari-Ku, lalu barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat & ia tidak akan celaka. 


Dan barangsiapa yang berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, & Kami akan menghimpunkannya pada hari Kiamat dalam keadaan buta. (Q.S Thaha: 123, 124). 


Dalam menjelaskan kedua ayat ini, Abdullah bin Abbas berkata, 


“Allah menjamin kepada siapa saja yang membaca Alquran & mengikuti apa-apa yang ada di dalamnya, bahwa dia tidak akan sesat di dunia & tidak akan celaka di akhirat.” 


[Tafsir ath Thabari, 16/225]. 


Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, 


Aku telah tinggalkan pada kamu dua perkara. Kamu tidak akan sesat selama berpegang kepada keduanya, (yaitu) Kitab Allah dan Sunnah Rasul-Nya. 


(Hadits Shahih Lighairihi, H.R. Malik; al-Hakim, al-Baihaqi, Ibnu Nashr, Ibnu Hazm. Dishahihkan oleh Syaikh Salim al-Hilali di dalam At Ta’zhim wal Minnah fil Intisharis Sunnah, hlm. 12-13). 


KENYATAAN UMAT 

Inilah yang menimbulkan keprihatinan, kenyataan yang ada menunjukkan bahwa umat Islam telah berpecah-belah menjadi banyak golongan. Antara satu dengan lainnya memiliki prinsip-prinsip yang berbeda, bahkan kadang-kadang saling bertentangan. 

Kenyataan seperti ini menjadi bukti kebenaran nubuwwah (kenabian) Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau telah memberitakan iftiraqul ummah (perpecahan umat Islam) ini semenjak hidup beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. 


Walaupun demikian, kita tidak boleh pasrah terhadap kenyataan yang ada, bahkan kita diperintahkan untuk mengikuti syariat dalam keadaan apa saja. Sedangkan syariat telah memerintahkan agar kita bersatu di atas al-haq, di atas Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam & sahabatnya radhiallahu ‘anhum. 


Salah satu hal terpenting untuk menyatukan umat ini ialah, umat harus mengikuti kaidah yang benar dalam memahami al-Kitab & as-Sunnah. Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani rahimahullah berkata, 


“Pada zaman ini, kita hidup bersama kelompok-kelompok orang yang semua mengaku bergabung dengan Islam. Mereka meyakini bahwa Islam adalah Alquran & as-Sunnah, tetapi kebanyakan mereka tidak ridha berpegang dengan perkara ketiga yang telah dijelaskan, yaitu sabilul mukminin (jalan kaum mukminin), jalan para sahabat yang dimuliakan & orang-orang yang mengikuti mereka dengan sebaik-baiknya dari kalangan tabi’in & para pengikut mereka, sebagaimana telah kami jelaskan di dalam hadits 


“Sebaik-baik manusia adalah generasiku”, & seterusnya. Oleh karena itu, tidak merujuk kepada Salafush Shalih dalam pemahaman, pemikiran & pendapat, merupakan penyebab utama yang menjadikan umat Islam berpecah-belah menuju jalan-jalan yang banyak. 


Maka, barangsiapa benar-benar menghendaki, kembalilah kepada al-Kitab dan as-Sunnah, yaitu wajib kembali kepada apa yang ada pada para sahabat Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam, para tabi’in & para pengikut mereka setelah mereka.” 


[Manhaj as Salafi ‘inda Syaikh Nashiruddin al Albani, hlm. 27, karya Syaikh ‘Amr Abdul Mun’im Saliim]. 



RUJUKAN MEMAHAMI NASH 


Syaikh Dr. Nashir bin Abdul Karim al ‘Aql hafizhahullah menjelaskan kaidah-kaidah & rujukan dalam memahami nash-nash (teks-teks) Alquran & al-Hadits di kitab kecil beliau, Mujmal Ushul Ahlis Sunnah wal Jama’ah fil ‘Aqidah. Beliau menyatakan, rujukan di dalam memahami al-Kitab & as-Sunnah adalah nash-nash yang menjelaskannya, juga pemahaman Salafush Shalih & imam-imam yang mengikuti jalan mereka. 


Dan apa yang telah pasti dari hal itu, tidak dipertentangkan dengan kemungkinan-kemungkinan (makna) bahasa [Mujmal Ushul Ahlis Sunnah wal Jama’ah fil ‘Aqidah, hlm. 7, Penerbit Darul Wathan]. 


Alquran & as-Sunnah, keduanya merupakan wahyu Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sehingga, di antara keduanya sama sekali tidak terdapat pertentangan di dalamnya. 


Oleh karena itu, cara memahami al-Kitab & as-Sunnah ialah dengan nash-nash al-Kitab & as-Sunnah itu sendiri. Karena yang paling mengetahui maksud suatu perkataan, hanyalah pemilik perkataan tersebut. 

Para ulama menyebutkan kaidah di dalam memahami & menafsirkan Alquran sebagai berikut: 

  • Menafsirkan Alquran dengan Alquran 
  • Menafsirkan Alquran dengan as-Sunnah 
  • Menafsirkan Alquran dengan perkataan-perkataan para sahabat 
  • Menafsirkan Alquran dengan perkataan-perkataan para tabi’in 
  • Menafsirkan Alquran dengan bahasa Alquran & as-Sunnah, atau keumumam bahasa Arab 

Al-Hafizh Ibnu Katsir menyatakan, jalan yang paling benar dalam menafsirkan Al Quran ialah: Alquran ditafsirkan dengan Alquran. Karena apa yang disebutkan oleh Alquran secara global di satu tempat, terkadang telah dijelaskan pula dalam Alquran secara luas di tempat yang lain. 

Jika hal itu menyusahkanmu [yakni Anda tidak mendapatkan penjelasan ayat dari ayat lainnya, Pen.], maka engkau wajib me-ruju` kepada as-Sunnah, karena ia merupakan penjelas bagi Alquran. 


Jika tidak mendapatkan tafsir di dalam Alquran & as-Sunnah, dalam hal ini kita me-ruju` kepada perkataan para sahabat. Mereka lebih mengetahui tentang hal itu, karena mereka menyaksikan alamat-alamat & keadaan-keadaan yang mereka mendapatkan keistimewaan tentangnya [yaitu hanya generasi sahabat yang menyaksikan turunnya wahyu & yang menjadi penyebab turunnya. 


Demikian juga Rasulullah bersama mereka, sehingga para sahabat dapat menanyakan ayat-ayat yang susah difahami. Adapun generasi setelah sahabat tidak mendapatkan hal-hal seperti di atas, Pen.]. Juga karena para sahabat memiliki pemahaman yang sempurna, ilmu yang benar, & amal yang shalih. 


Terlebih para ulama sahabat & para pembesar mereka, seperti imam empat, yaitu khulafaur rasyidin, para imam yang mengikuti petunjuk dan mendapatkan petunjuk, Abdullah bin Mas’ud, juga al-habrul al-bahr (seorang ‘alim & banyak ilmunya) Abdullah bin Abbas


Jika engkau tidak mendapatkan tafsir di dalam Alquran & as-Sunnah, & engkau tidak mendapatinya dari para sahabat, maka dalam hal ini banyak para imam me-ruju` kepada perkataan-perkataan tabi’in, seperti Mujahid bin Jabr, karena beliau merupakan ayat (tanda kebesaran Allah) dalam bidang tafsir. 


Juga seperti Sa’id bin Jubair, ‘Ikrimah maula Ibnu Abbas, ‘Atha bin Abi Rabah, al-Hasan al-Bashri, Masruq bin al Ajda’, Sa’id bin al-Musayyib, Abul ‘Aliyah, Rabii’ bin Anas, Qatadah, adh-Dhahhak bin Muzahim, & lainnya dari kalangan tabi’in (generasi setelah sahabat), & tabi’ut tabi’in (generasi setelah tabi’in). 


(Perkataan-perkataan tabi’in bukanlah hujjah jika mereka berselisih), namun jika mereka sepakat terhadap sesuatu, maka tidak diragukan bahwa itu merupakan hujjah. 


Jika mereka berselisih, maka perkataan sebagian mereka bukanlah hujjah terhadap perkataan sebagian yang lain, & bukan hujjah atas orang-orang setelah mereka. 

Dalam masalah itu, maka tempat kembali ialah kepada bahasa Alquran & as-Sunnah, atau keumumam bahasa Arab, atau perkataan para sahabat dalam masalah tersebut. 


Adapun menafsirkan Alquran semata-mata hanya dengan pikiran (akal), maka (hukumnya) haram.” (Tafsir al-Qur`anul Azhim, Muqaddimah, 4-5). 

Adapun kewajiban berpegang sesuai dengan pemahaman Salafush Shalih, yaitu para sahabat, tabi’in, & para imam yang mengikuti jalan mereka, maka dalil-dalilnya sangat banyak, antara lain: 


Firman Allah Ta’ala, 


Dan barangsiapa menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya. & mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu & Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, & Jahannam itu seburuk-buruknya tempat kembali. (Q.S an-Nisaa` : 115). 


Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, 


“Sesungguhnya, keduanya itu (yaitu menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya & mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Pen.) saling berkaitan. Semua orang yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, berarti dia mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin. 


Dan semua orang yang mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, berarti dia menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya.” (Majmu’ Fatawa, 7/38). 


Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, 


Sebaik-baik manusia adalah generasiku (yaitu generasi sahabat), kemudian orang-orang yang mengiringi mereka (yaitu generasi tabi’in), kemudian orang-orang yang mengiringi mereka (yaitu generasi tabi’ut tabi’in). 


(Hadits mutawatir, Bukhari, no. 2652, 3651, 6429; Muslim, no. 2533; & lainnya). 

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, 


Sesungguhnya, Bani Israil telah berpecah-belah menjadi 72 agama. Dan sesungguhnya umatku akan berpecah-belah menjadi 73 agama. Mereka semua di dalam neraka kecuali satu agama. 


Mereka (para sahabat) bertanya, “Siapakah mereka, wahai Rasulullah?” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Siapa saja yang mengikutiku & sahabatku.” 

(H.R Tirmidzi, no. 2565; al-Hakim, Ibnu Wadhdhah; dan lainnya; dari Abdullah bin ’Amr. Dihasankan oleh Syaikh Salim al Hilali di dalam Nash-hul Ummah, hlm. 24). 


Berpegang teguh kepada Sunnah (ajaran) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam & Sunnah (ajaran) para khulafaur rasyidin & para sahabat inilah solusi di saat umat menghadapi perselisihan, tidak ada jalan lain! 


Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, 


Aku wasiatkan kepada kamu untuk bertakwa kepada Allah, mendengar & taat (kepada penguasa kaum muslimin), walaupun (ia) seorang budak Habsyi. 


Karena sesungguhnya, barangsiapa hidup setelahku, ia akan melihat perselishan yang banyak. 

Maka wajib bagi kamu berpegang kepada sunnahku & sunnah para khalifah yang mendapatkan petunjuk dan lurus. Peganglah, & giggitlah dengan gigi geraham. 


Jauhilah semua perkara baru (dalam agama), karena semua perkara baru (dalam agama) adalah bid’ah, & semua bid’ah adalah sesat. 

(H.R Abu Dawud, no. 4607; Tirmidzi, 2676; ad-Darimi; Ahmad; dan lainnya dari al-‘Irbadh bin Sariyah). 


Jika suatu istilah telah jelas maknanya menurut al-Kitab, as-Sunnah, sesuai dengan pemahaman para ulama Salaf, atau telah terjadi ijma`, maka seorang pun tidak boleh menyelisihinya dengan alasan makna bahasa. 


Sebagai contoh, istilah rasul, secara bahasa artinya orang yang diutus. Sedangkan menurut istilah syara’ -menurut al-Kitab & as-Sunnah sesuai dengan pemahaman ulama- rasul adalah seorang manusia, laki-laki, diberi wahyu syariat (yang baru), & diperintah untuk menyampaikan kepada umatnya (orang-orang kafir). 


Dan rasul yang terakhir adalah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam 

[lihat: ar-Rusul war-Risalat, hlm. 14, 15, Dr. Umar Sulaiman al-Asyqar; Al-Irsyad ila Shahihil Itiqad, hlm. 203, Syaikh Shalih al Fauzan]. 


Namun, ada sebagian orang yang menyimpang memiliki anggapan bahwa setiap mubaligh adalah rasul, & rasul tetap diutus sampai hari Kiamat. Alasan yang dikemukakan ialah, karena secara bahasa, rasul artinya orang yang diutus. 


Pemahaman seperti ini adalah bid’ah, sesat & menyesatkan [penulis pernah ikut membantah seorang mubaligh dari Gemolong, Sragen, Jawa Tengah, yang mengaku sebagai rasul. Dia beralasan, rasul artinya ialah orang yang diutus. Sedangkan orang ini mengaku sendiri, bila ia tidak mengerti bahasa Arab & kaidah-kaidahnya! 


Peta Gemolong, Sragen, Jawa Tengah


Lihat juga Aliran dan Paham Sesat di Indonesia, hlm. 32, Hartono Ahmad Jaiz]. 


Contoh lainnya, seperti istilah qurban, secara bahasa artinya mendekat, atau semua yang digunakan untuk mendekatkan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala [lihat Mu’jamul Wasith, Bab ق ر ب]. 


Sedangkan menurut istilah syara’, menurut al-Kitab dan as-Sunnah -sesuai dengan pemahaman ulama- qurban adalah binatang ternak yang disembelih pada hari raya qurban (10 Dzulhijjah) & hari-hari tasyrik untuk mendekatkan diri kepada Allah 


[Al-Wajiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitabil Aziz, hlm. 405, Syaikh Abdul ‘Azhim al Badawi, Penerbit Dar Ibnu Rajab, Cet. 3, Th. 1421H/2001M]. 


Tetapi, Kelompok al-Zaitun, dengan alasan arti qurban secara bahasa, kemudian mengusulkan & mempraktekkan qurban dengan bentuk uang untuk membangun sarana pendidikan, & manganggapnya sebagai qurban yang optimis & berwawasan masa depan. 


Pemahaman seperti ini adalah bid’ah, sesat & menyesatkan [lihat Aliran dan Paham Sesat di Indonesia, hlm. 48, Hartono Ahmad Jaiz]. Ini sebagian contoh kasus tentang kesalahan memahami istilah agama Islam, karena semata-mata me-ruju` kepada arti bahasa. Kasus seperti ini sangat banyak. 


Semua ini menyadarkan kita tentang perlunya memahami al-Kitab & as-Sunnah sesuai dengan pemahaman Salafush Shalih. Tentu pemahaman tersebut melalui para ulama Ahlu Sunnah wal Jama’ah, atau para ustadz yang dikenal kelurusan aqidah dan manhaj mereka, serta amanah mereka dalam menyampaikan ilmu agama. 


Hal itu dapat secara langsung berguru kepada mereka, atau lewat tulisan, kaset, dan semacamnya. Semoga Allah selalu membimbing kita di atas jalan kebenaran. 

Penulis: Abu Isma’il Muslim al Atsari
Artikel www.muslim.or.id

0 komentar:

Posting Komentar

hanya komentar yang baik, menyejukkan, mencerdaskan, menginspirasi